Hobiku yang mahal Harganya
inginya
angin malam di Kota Dingin ini
membuatku membeku bak gunung es di kutub utara. Di sebuah istana yang hanya
beratapkan asbes ini aku tinggal bersama satu-satunya orang hebat yang pernah
ada di dalam hidupku, ia adalah ibuku. Aku,Rosita seorang gadis remaja yang
beranjak dewasa ini mulai mencoba melawan serbuan hawa dingin ini dengan secangkir
teh hangat di tanganku. Ditemani indahnya ribuan kunang-kunang di halaman depan
rumah sederhana ku ini, membuat hati ini menjadi damai dan tentram. Tak terasa
waktu telah berputar begitu cepat hingga menunjukkan pukul 22.00 WIB. Segera
aku menuju kamar mewah ku yang hanya beralaskan kasur lipat itu, untuk segera
berhibernasi seperti beruang kutub yang sedang kedinginnan. Serasa baru
sebentar aku memejamkan kedua mataku ini, suara ayam jago terdengar lantang
memecah gendang telingaku sehingga membuatku bangun dari hibernasi singkat ku
ini. Ketukan pintu dan suara Ibuku membuatku harus segera beranjak keluar dan
segera untuk mandi dengan air es yang membuat tubuhku menggigil.
“ Ita,
Segera mandi ! kalau tidak mau sandal baja ibu yang butut ini terbang
mengenaimu” Ujar Ibu dengan nada keras
“ Iya bu,
Ita sudah di kamar mandi” Jawabku dengan lantang
Ibuku memang keras, ia mendidik ku dari kecil dengan
penuh ketegasan karena semenjak ayahku meninggal, ibu lah yang harus
menggantikan semua peran ayah dalam hidupku. Perlahan aku mulai sadar jika ibu
bersikap keras padaku, hal itu dimaksudkan agar aku dapat menjadi pribadi yang
kuat,disiplin,pantang menyerah di kemudian hari kelak. Alhamdullilah semua yang
telah dilakukan ibuku tidaklah sia-sia , terbukti dengan diriku yang tidak
mudah menyerah dalam menghadapi cemooh-cemooh warga sekitar terhadap hobiku
yang mungkin dimata mereka, mereka menganggapnya hobi yang kuno, kampungan
ataupun tidak trend. Bermain musik
Tradisional/Gamelan (Karawitan) dan
menari tarian daerah adalah separuh dari diriku yang membuat seluruh sel dan
organ didalam hidupku dapat bersatu membentuk suatu kesatuan yang utuh. Sang
Surya perlahan mulai menampakkan kegagahan, membuatku harus segera beranjak
menuju rumah kedua bagiku, yaitu sekolahku. Salah satu sekolah kejuruan yang
favorit di kotaku.
Bel sekolah mulai berdering kencang membuat semua siswa
berlari agar terhindar dari telat, karena gerbang akan segera ditutup. Hari itu
disekolah merupakan hari yang sangat menyenangkan bagiku, karena kelompok seni
di sekolahku berkesempatan untuk mengikuti ajang Seni Pelajar tahunan di
tingkat provinsi, dan alhamdullilah aku menjadi salah seorang siswa dari Seni
Daerah yang ditunjuk untuk mewakili sekolahku diajang tersebut. Hal itu membuat
hatiku sangat bangga dan tidak percaya bisa menjadi wakil sekolah di ajang
bergengsi itu. Namun di lain sisi Vera, teman terbaikku dalam Seni Tari tidak
terpilih untuk mengikuti ajang tersebut. Di lain sisi aku memang bahagia tapi
di sisi lain aku bimbang antara aku harus menerima tawaran itu atau tidak, aku
merasa sangat tidak enak dengan Vera karena ia dari dulu sangat berambisi agar
bisa mengikuti ajang tersebut. Semua hal itu membuatku menjadi gelisah dan
bimbang, aku mecoba untuk menenangkan diriku dengan memainkan salah satu lagu
kesukaanku dengan teman-teman karawitan ku di arena terbuka di sekolahku.
Setelah selesai kami memainkan satu lagu itu, Vera berbisik kepadaku,
“Ta, aku
mau ngomong berdua sama kamu” Ujar, Vera.
“Iya Ver,
mau ngomong apa?” jawabku segera.
“Jadi
gini Ta, sebenernya aku tau apa yang sedang menganggu pikiranmu saat ini. Kamu
pasti memikirkan naisibku mengenai ajang Seni tahunan itu. Tenang aja Ta,aku
gak papa kok. Mungkin itu memang bukan keberuntunganku, jadi kamu terima aja
tawaran itu. Tawaran itu datang Cuma sekali lo, jadi jangan sampai kamu
sia-siakan Ta.” Jawab Vera dengan nada lembut.
“Tapi
Ver, aku nggak enak sama kamu, kan dari dulu yang sangat berambisi untuk bisa
mengikuti ajang itu kan kamu. Jadi lebih baik aku mengundurkan diri saja, Ver.”
Jawabku lantang
“Tidak
Ta, sudahlah pokoknya kamu harus terima
tawaran itu, karena dengan ajang itu kamu dapat membantu dan membuat
Ibumubangga terhadap kamu, dan membuktikan kepada semua orang yang telah
memandang remeh hobi kita ini menjadi lebih terbuka dan mau untuk ikut
melestarikan kebudayaan kita, Ta. Pokonya kamu harus ikut !” Ujar Vera dengan
tegas.
“Bailkah
Ver, jika itu keinginanmu aku akan berusaha untuk menampilkan yang terbaik di
ajang nanti.” Jawabku dengan semangat.
Hari demi hari,perlahan telah
terlewati dengan penuh latihan keras bak tentara yang sedang mendapat pelajaran
militer. Aku dan teman-temanku yang mewakili sekolah di ajang Seni tingkat
provinsi itu terus bersemangat mesiki banyak siswa lain mencemooh kita, dan
mereka mengatakan bahwa “Kalian itu
kampungan,kuno, nggak modern”.
Mendengar
celotehan mereka aku menjawab “ Memangnya apa yang sudah kalian lakukan untuk
negeri ini? Dengan lagu lagu barat?” Ujarku tegas
“Itu kan trend, modern lagi. Daripada kalian
kampungan.” Ujar mereka keras.
“ Lalu
bagaimana dengan para bule/warga negara sing yang justru lebih tertarik untuk
mempelajari kebudayaan kita, apa mereka juga kampungan? Kami melakukan ini
karena kami bangga menjadi warga Indonesia yang memiliki kebuayaan yang
melimpah, khususnya daerah kita (Jawa) yang memiliki budaya yang berbudi luhur.
Kami melakukan ini, karena kami juga peduli terhadap kebudayaan bangsa kita
yang perlahan mulai tergerus dengan westernisasi
dan modernisasi jaman ini. Karena kalau bukan kita siapa lagi yang mau
melestarikan kebudayaan ini dan jika tidak sekarang kapan lagi, apa mau
menunggu kebudayaan kita ini punah dan hilang? Sebenarnya hobi kami ini sangat
mahal harganya, karena hanya orang-orang pilihan yang bisa melakukan hal ini”
Jawabku dengan lantang.
Mereka lalu diam dan pergi. Tak terasa hari yang telah
ditunggu-tunggu tiba, ajang seni pelajar tahunan itu mulai digelar. Perasaan
berdebar bagaikan jantung ini akan lepas menyelimuti hati kami. Peserta dari
daerah lain yang akan membawakan tarian modern modern dances, menghampiri kami dan berkata “pasti kalah, kalian
kampungan gak bermutu, lebih baik pulang saja”. Mendengar hal itu kami bukan
malah semakin menyerah, tetapi kami semakin yakin dan semanagat untuk
membuktikan bahwa apa yang mereka katakan itu salah besar. Detik demi detik
jarum jam mulai menunjukkan waktu kami tampil. Tibalah saatnya giliran kami
untuk menampilkan karya seni yang telah kami perjuangkan selama kurang lebih
satu bulan ini. Perlahan tapi pasti kami mulai naik ke atas panggung dan menampilkan
kesenian daerah kami yang berjudul Sendratari
Jalak Lawu sebuah tarian dengan filosofi flora khas dari daerah kami yang
sangat langka dan menggambarkan kekuatan dan keindahan alam anugerah dari Tuhan
kepada kami dengan iringan musik tradisional jawa/gamelan. Perasaan bangga dan
haru menghampiri kami saat para penonton dan dewan juri standing applause melihat penampilan kami. Salah satu juri berkata
“Kalian sungguh luar biasa, jarang terdapat pelajar yang mau membawakan
kesenian daerahnya, mereka cenderung lebih tertarik membawakan hal-hal modern.
Kalian hebat!” Mendengar hal itu terlintas dihatiku jika aku telah mampu
membuktikan kepada semua orang bahwa, kesenian tradisional bukanlah hal
kuno/kampungan melainkan suatu kebanggan bisa ikut turut melestarikan
kebudayaan daerah yang mulai punah ini.
Tibalah saat-saat yang sangat mendebarkan, pengumuman
hasil lomba bagaikan panggilan maut malaikat izrail kepada kami. Dewan juri
menyebutkan beberapa kategori pemenang hingga juara 2 lomba ini. Perasaan sedih
dan gelisah menimpaku, “Apakah kami memang harus kalah, karena apa yang kami
tampilkan ini kampungan?” Semua hal yang telah terlintas di benakku
terbantahkan dengan pengumuman dewan juri, jika sekolah kami berhasil menjadi
juara 1 dari lomba seni pelajar tahun ini. Perasaan yang mulanya gelisah
menjadi bahagia yang tak terhitung bagi kami, hanya rasa syukur dan bangga yang
dapat kami rasakan. Dari hal itu kami percaya bahwa hobi kami memang mahal
harganya.